Sebenarnya kisah ini adalah kisah lama. Kini teringat kembali dalam kosongnya benakku. Hangatnya adalah kehangatan yang sama dengan yang kurasakan satu tahun yang silam. Satu periode yang lawas, dimana perbincangan terjadi antara aku dan matahari di kala senja.
Hari itu, dimana titimangsa sedang ku acuhkan, di hari pertama ku bertemu dan melihat matahari. Begitu terang bersinar. Kehangatannya tak hanya membuatku kaku membeku, tapi juga diam membisu. Namun, secerca radiasinya menembus dadaku, sehingga ku izinkan hatiku berkata mewakili lidahku.
Dalam keramaian polusi, kami hening. Dalam keheningan kami terdiam, melamun, dan saling menatap. Dalam tatapan itu lah kami saling bertukar rasa.
"Mengapa kau begitu kuat melihatku?" kata matahari. Aku terdiam sejenak.
"Karena tak ada hal lain yang harus ku lihat saat ini, bukan?" jawabku.
"Sebenarnya banyak. Apa kau tidak bisa melihat indahnya gemerlap bintang-bintang?" matahari itu ngotot.
"Ya, benar. Aku dapat melihatnya," kataku membenarkan, "tapi aku harus melihat mereka dalam kegelapan dan dinginnya malam. Diantara kedua itu mereka indah, namun pada kenyataannnya, mereka tak lain hanyalah segumpal bola pejal yang buruk dan tak beraturan," jelasku lengkap.
Matahari terlihat diam dan tertunduk, sehingga membuat senja kala itu terasa sejuk.
"Tapi, bukankah masih ada..."
"Rembulan!?" potongku.
Matahari mengangguk. " Bukankah sinarnya lebih jelas terlihat olehmu?" tanyanya lagi.
Aku menghela napas. sinarnya meredup, tapi membuatku berkeringat.
"Bulan, memang sinarnya dapat kulihat. Jelas dan indah. Tapi, hanya sebatas kepuasan pandangan. Kehangatan sinarnya tak bisa kurasakan. Tak sehangat cahayamu, matahari."
Aku bingung. Matahari itu masih terlihat ragu. Apa ia akan terbit kembali atau selesai dan terbenam.
"Bulan itu indah kan?" gumam matahari.
"Indah, hanya sebatas indah!" emosiku memanas seiring redupnya sinar surya itu. "Dengar, bulan memang indah dengan sinarnya yang memukau. Begitu pula para bintang. Tapi kau pun tahu, sinar mereka hanya gelombang semu. Mereka hanya pribadi-pribadi siluet tak beraturan. Imitasi dari cahayamu! Hanya hangatmu yang kuinginkan. Aku tak butuh indah pandangan, tapi kehangatan darimu dan cahayamu," pintaku.
Aku berlutut memohon dan mengadahkan tangan. Meminta, tapi tidak mengemis. Keringatku mengucur deras, pertanda kembalinya sinar pagi matahariku yang tadi sempat terbenam. Ia terbit lagi dan tersenyum.
"Tatap dan resap kehangatan sinarku sebanyak yang kau inginkan. Kau adalah laki-laki yang tulus. Bangunlah, buka matamu," pintanya.
Namun aku hanya terbangun. Mata tetap ku tutup. Pupil tetap ku bayangi.
"Kenapa? Kau bilang ingin menatapku bukan?" tanya matahari heran.
Aku tetap diam. Membiarkan angin berpeluh dan kutingkatkan indra ku.
Aku tersenyum.
"Sinarmu memang tak sanggup tuk ku pandang. Tapi aku tak peduli. Awalnya, kau takut bahwa sinarmu akan menipu dan membutakan mataku. Tapi aku tak butuh hanya pandangan. Terima kasih matahariku. Yang kubutuhkan bukan penampang berupa tampak gelombangmu, tapi hangatmu. Hangat cahayamu," kataku.
Matahari itu tersipu. Harunya membuat awan disekitarnya menurunkan hujan.
"Terima kasih. Denganmu, kini aku memiliki alasan mengapa aku harus terbit dan bersinar. Hangatku akan selalu kau rasakan, aku janji," jawab matahari dan ia pun terbenam.
Between Me and The Sun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar