RSS

Pages

DEL FUEGO




          Saat itu, aku adalah seorang pengelana. Sang pencari kehidupan dan arti dari kehidupan itu sendiri. Sebelum aku memutuskan untuk berkelana, aku adalah seorang buronan. Penjahat hati yang terus dikejar dan dicari oleh lilin-lilin dan lentera. Bagaimanapun eloknya cahaya yang mereka pancarkan, itu tidak seberapa. Mereka lemah. Lemah terhadap angin dan tiupan. Tak seorangpun dari mereka yang kuambil tuk kujadikan penerang. Pada akhirnya, kehidupanku tetaplah gelap. Sunyi dan kosong. Begitu mencekam diantara pepohonan beton yang menjulang.
            Kubawa kegelapan itu bersama phoenix yang membawaku mengarungi hamparan langit. Berharap bahwa aku akan menemukan api hidupku di tempat ku mendarat nanti. Di atas burung itu aku melamun. Pandanganku kosong, namun tajam. Ku tatap lapangan bumi di balik sayapnya. Begitu ramai. Ramai dengan cahaya lilin dan lentera yang berebut menyahutiku. Ukh, tidak! Aku tak ingin yang singkat. Aku tak akan tertipu.
            Lelahnya phoenix-ku membuatku tak tega untuk menungganginya lebih jauh lagi. Ku putuskan untuk mendarat di salah satu wilayah bumi. Sebuah rawa yang begitu memukau. Setelah mendarat, aku tak istirahat. Ku tebas setiap akar gantung yang menghalangiku. Aku mencari. Yang ku temukan hanyalah bunga-bunga yang begitu indah dan menawan. Sempat pula aku terpikat, tapi tidak! Bunga-bunga itu tak bisa menghangatkan. Yang ku butuhkan adalah api. Ya, api!
            Setelah 2 malam ku berjalan, dikala kakiku letih dan ku topang badanku pada pohon, aku melihat seberkas cahaya. Kesadaranku meningkat dan kudekati sumber cahaya itu.
“Itu dia! Akhirnya... Api...”
Aku begitu bahagia. Api yang indah. Sangat indah. Lalu ku putuskan bahwa aku akan mendirikan tendaku dekat dengan api ini. Cahayanya begitu hangat dalam dinginnya malam. Aku bisa memasak, membuat teh atau kopi, sehingga bangkitlah kembali semangatku.
            Di tengah malam, aku hanya duduk tersenyum memandang api itu. Begitu damai. Hangatnya menyeretku untuk berada lebiih dekat lagi dengannya. Tapi, disaat jarakku sudah satu hasta, angin malam berhembus ke arahku dari depan, membuat percikan api itu mengenai dadaku. Aku panik, aku berlari mengusap-usap dadaku.
“Panas, panas, tolong...” teriakku.
Saat aku berusaha untuk memadamkan percikan itu, aku mendengar lengkingan Ifrit yang tertawa. Suaranya berasal dari asap hitam yang keluar dari api itu. Lho!? Asap hitam? Makhluk itu tidak ada sebelumnya. Yang ada tadi hanyalah api dan kehangatan, tanpa asap. Munculnya asap hitam itu menyerap hampir seluruh kehangatan dari api tersebut.
            “Del Fuego! Tidak! Jangan! Ku mohon kembali... Aku menggigil,” jeritku histeris.
Percikan itu tetap membakar dadaku yang kini sudah melepuh. Begitu parah dan memerah.
            “Maafkan aku. Asap ini sudah lama menemaniku. Bahkan sebelum kedatanganmu,” kata Del Fuego.
Sial, sial, sial!!!
Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Namun, tiba-tiba saja air mata itu berhenti dan tidak terjatuh dari pipiku. Membeku. Ku gosok kedua lenganku, tanganku, dan ku tempelkan ke pipiku. Begitu dingin. Tapi mengapa percikan di dadaku tidak padam di udara sedingin ini?
            Dalam lamunanku, aku melihat Del Fuego sedang berdansa bersama asap hitam itu. Namun gerakannya tidak dapat ku ketahui, tidak dapat ku kenali. Tapi mereka terlihat begitu bahagia. Ku tadahkan kepalaku ke langit. Dalam doaku, kubiarkan Hades merasukiku. Kurasakan panas yang begitu membara melebur bersama darah ku dan percikan di dadaku. Dalam panas, masih dapat kurasakan hangatnya Del Fuego. Dalam tariannya, Del Fuego menatapku. Dia bingung. Dia berharap.
            Jilatan Del Fuego membuatku berteriak dan memaki. Panas Hades membuat air mataku akhirnya jatuh, namun berwujud. Ku dapati trisula Neptunus tepat di tempat air mataku terjatuh.
            “Terjunlah. Dengan Hades pada dirimu, panas Del Fuego akan kau miliki kembali. Saat itulah, pisahkan ia dengan asap hitam. Gunakan trisulanya!” kata suara gaib yang muncul ketika ku pegang trisula Neptunus dalam genggaman.
            Tanpa pikir panjang, aku melompat ke atas bara Del Fuego. Membiarkan diriku terbakar bersama apinya. Namun ajaib! Bukan luka bakar yang membakar, melainkan hangat Del Fuego tergetar. Menyatu dengan tubuhku. Dengan sigap, ku tusuk si asap hitam dengan trisula Neptunus. Ku tebas bebas, hingga ia lepas tanpa bekas.
            Aku pun melompat keluar dari Del Fuego. Ku tatap Del Fuego dengan urat dahi yang terlihat.
            “Terima kasih. Atas keberanianmu dan bukti kesetiaanmu. Kini aku berjanji, bahwa kehangatan ini hanya akan ku berikan untukmu. Jadi ku mohon. Duduklah... Jadilah pengelana yang ku kenal selama ini,” bujuk Del Fuego.
            Aku terdiam. Panasnya Hades masih kuat membungkam. Tapi, apa rasa panas ini yang kuinginkan? Atau hangat Del Fuego yang kubutuhkan?
           
Jawabanku menuntunku untuk menusukkan trisula Neptunus pada tubuhku sendiri. Tindakanku akhirnya memaksa Hades keluar dari jiwaku, dan padam. Begitu pula dengan percikan di dadaku. Padam, namun meninggalkan luka bakar yang abadi. Aku pun duduk dan kembali menikmati hangatnya Del Fuego, hingga kini.   

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Between Me and The Sun

Sebenarnya kisah ini adalah kisah lama. Kini teringat kembali dalam kosongnya benakku. Hangatnya adalah kehangatan yang sama dengan yang kurasakan satu tahun yang silam. Satu periode yang lawas, dimana perbincangan terjadi antara aku dan matahari di kala senja.
Hari itu, dimana titimangsa sedang ku acuhkan, di hari pertama ku bertemu dan melihat matahari. Begitu terang bersinar. Kehangatannya tak hanya membuatku kaku membeku, tapi juga diam membisu. Namun, secerca radiasinya menembus dadaku, sehingga ku izinkan hatiku berkata mewakili lidahku.
Dalam keramaian polusi, kami hening. Dalam keheningan kami terdiam, melamun, dan saling menatap. Dalam tatapan itu lah kami saling bertukar rasa.

"Mengapa kau begitu kuat melihatku?" kata matahari. Aku terdiam sejenak.
"Karena tak ada hal lain yang harus ku lihat saat ini, bukan?" jawabku.
"Sebenarnya banyak. Apa kau tidak bisa melihat indahnya gemerlap bintang-bintang?" matahari itu ngotot.
"Ya, benar. Aku dapat melihatnya," kataku membenarkan, "tapi aku harus melihat mereka dalam kegelapan dan dinginnya malam. Diantara kedua itu mereka indah, namun pada kenyataannnya, mereka tak lain hanyalah segumpal bola pejal yang buruk dan tak beraturan," jelasku lengkap.

Matahari terlihat diam dan tertunduk, sehingga membuat senja kala itu terasa sejuk.

"Tapi, bukankah masih ada..."
"Rembulan!?" potongku.
Matahari mengangguk. " Bukankah sinarnya lebih jelas terlihat olehmu?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas. sinarnya meredup, tapi membuatku berkeringat.

"Bulan, memang sinarnya dapat kulihat. Jelas dan indah. Tapi, hanya sebatas kepuasan pandangan. Kehangatan sinarnya tak bisa kurasakan. Tak sehangat cahayamu, matahari."

Aku bingung. Matahari itu masih terlihat ragu. Apa ia akan terbit kembali atau selesai dan terbenam.

"Bulan itu indah kan?" gumam matahari.
"Indah, hanya sebatas indah!" emosiku memanas seiring redupnya sinar surya itu. "Dengar, bulan memang indah dengan sinarnya yang memukau. Begitu pula para bintang. Tapi kau pun tahu, sinar mereka hanya gelombang semu. Mereka hanya pribadi-pribadi siluet tak beraturan. Imitasi dari cahayamu! Hanya hangatmu yang kuinginkan. Aku tak butuh indah pandangan, tapi kehangatan darimu dan cahayamu," pintaku.

Aku berlutut memohon dan mengadahkan tangan. Meminta, tapi tidak mengemis. Keringatku mengucur deras, pertanda kembalinya sinar pagi matahariku yang tadi sempat terbenam. Ia terbit lagi dan tersenyum.

"Tatap dan resap kehangatan sinarku sebanyak yang kau inginkan. Kau adalah laki-laki yang tulus. Bangunlah, buka matamu," pintanya.

Namun aku hanya terbangun. Mata tetap ku tutup. Pupil tetap ku bayangi.

"Kenapa? Kau bilang ingin menatapku bukan?" tanya matahari heran.

Aku tetap diam. Membiarkan angin berpeluh dan kutingkatkan indra ku.
Aku tersenyum.

"Sinarmu memang tak sanggup tuk ku pandang. Tapi aku tak peduli. Awalnya, kau takut bahwa sinarmu akan menipu dan membutakan mataku. Tapi aku tak butuh hanya pandangan. Terima kasih matahariku. Yang kubutuhkan bukan penampang berupa tampak gelombangmu, tapi hangatmu. Hangat cahayamu," kataku.

Matahari itu tersipu. Harunya membuat awan disekitarnya menurunkan hujan.

"Terima kasih. Denganmu, kini aku memiliki alasan mengapa aku harus terbit dan bersinar. Hangatku akan selalu kau rasakan, aku janji," jawab matahari dan ia pun terbenam.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

I'm so PROUD to be Foreign Exchange Student

Monroe Exchange Students
Sahabat blogger, pada akhirnya gue nemuin salah satu topik yang pengen banget gue share setelah sekian lama gue ngga nge-blog. Seperti yang gue share di blog-blog sebelumnya, gue adalah anak exchange student yang sedang menimba ilmu di negeri paman sam. Sedih dan senang sedang melanda perasaan gue minggu-minggu ini karena Juni 2012 adalah bulan terakhir gue sebagai seorang siswa pertukaran pelajar. Sekedar info aja buat keluarga dan temen-temen gue yang sering banget nanyain "Mi, lo pulang kapan sih?", dan gue harus jawab pertanyaan itu berulang-ulang setiap harinya. Okay, gue bakal ninggalin Oregon State pada tanggal 26 Juni 2012 untuk orientasi lagi di Washington D.C. Kurang lebih 3 hari orientasi, gue akhirnya bakalan terbang balik ke tanah air pada tanggal 29 Juni 2012. Tapi gue ga langsung pulang ke rumah, gue masih harus orientasi (lagi) di Jakarta selama 3 hari (juga). Itu info yang gue tau sejauh ini. So, buat keluarga dan temen-temen gue, please baca blog gue untuk informasi lebih lanjut (terima kasih).

Yes, we were having fun together
Kembali ke judul. Gue bangga banget bisa jadi siswa pertukaran pelajar (thanks for BinaAntarbudaya). Salah satu manfaat dari program pertukaran pelajar adalah gue bisa ketemu sama remaja-remaja hebat lainnya dari berbagai negara di dunia. Seperti yang gue ceritakan di postingan sebelumnya, gue bukan satu-satunya exchange student di sekolah gue, Monroe High School. Ada 7 exchange students di sekolah gue dan mereka berasal dari negara yang berbeda; Indonesia, Denmark, Norwegia, Jerman, China, Spanyol, dan Australia. Alhamdulillah, gue bersyukur banget bisa ketemu sama temen-temen dari negera tersebut diatas. Mereka adalah remaja-remaja yang punya motivasi tinggi, rasa ingin tahu yang besar, dan toleransi. Kita sering banget cerita-cerita tentang negara kita masing-masing, saling bertukar pikiran tentang budaya dan agama, ngerjain PR bareng, nyontek bareng, ketawa bareng, gila-gilaan bareng (tapi ke WC ngga bareng kok, hehe). Kami berharap, dengan adanya program pertukaran pelajar di berbagai negara di dunia, kami bisa ikut berpartisipasi dalam proses perdamaian dunia. Amiinn...

Dari ketujuh exchange students di sekolah gue (termasuk gue), 4 diantaranya adalah siswa senior, atau kelas 12; gue(Indonesia), Laura Brinckmann Hansen(Denmark), Ingri Silli(Norwegia), dan Kelli Richardson(Australia). Satu siswa Junior, atau kelas 11; Patricia Ramos(Spanyol). 2 orang sisanya adalah siswa Sophomores, atau kelas 10; Max Jiazheng(China) dan Julia Gardemann(Jerman). 


(Kiri-Kanan) Depan: Patricia Ramos, Fahmi Taufiqurrahman, Max Jiazheng, Julia Gardemann. Tengah: Kelli Richardson, Ingri Silli. Belakang: Laura Brinckmann Hansen


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS