Saat
itu, aku adalah seorang pengelana. Sang pencari kehidupan dan arti dari
kehidupan itu sendiri. Sebelum aku memutuskan untuk berkelana, aku adalah
seorang buronan. Penjahat hati yang terus dikejar dan dicari oleh lilin-lilin
dan lentera. Bagaimanapun eloknya cahaya yang mereka pancarkan, itu tidak
seberapa. Mereka lemah. Lemah terhadap angin dan tiupan. Tak seorangpun dari
mereka yang kuambil tuk kujadikan penerang. Pada akhirnya, kehidupanku tetaplah
gelap. Sunyi dan kosong. Begitu mencekam diantara pepohonan beton yang
menjulang.
Kubawa
kegelapan itu bersama phoenix yang membawaku mengarungi hamparan langit.
Berharap bahwa aku akan menemukan api hidupku di tempat ku mendarat nanti. Di
atas burung itu aku melamun. Pandanganku kosong, namun tajam. Ku tatap lapangan
bumi di balik sayapnya. Begitu ramai. Ramai dengan cahaya lilin dan lentera
yang berebut menyahutiku. Ukh, tidak! Aku tak ingin yang singkat. Aku tak akan
tertipu.
Lelahnya
phoenix-ku membuatku tak tega untuk menungganginya lebih jauh lagi. Ku
putuskan untuk mendarat di salah satu wilayah bumi. Sebuah rawa yang begitu
memukau. Setelah mendarat, aku tak istirahat. Ku tebas setiap akar gantung yang
menghalangiku. Aku mencari. Yang ku temukan hanyalah bunga-bunga yang begitu
indah dan menawan. Sempat pula aku terpikat, tapi tidak! Bunga-bunga itu tak
bisa menghangatkan. Yang ku butuhkan adalah api. Ya, api!
Setelah
2 malam ku berjalan, dikala kakiku letih dan ku topang badanku pada pohon, aku
melihat seberkas cahaya. Kesadaranku meningkat dan kudekati sumber cahaya itu.
“Itu dia!
Akhirnya... Api...”
Aku begitu bahagia. Api yang indah.
Sangat indah. Lalu ku putuskan bahwa aku akan mendirikan tendaku dekat dengan
api ini. Cahayanya begitu hangat dalam dinginnya malam. Aku bisa memasak,
membuat teh atau kopi, sehingga bangkitlah kembali semangatku.
Di
tengah malam, aku hanya duduk tersenyum memandang api itu. Begitu damai.
Hangatnya menyeretku untuk berada lebiih dekat lagi dengannya. Tapi, disaat
jarakku sudah satu hasta, angin malam berhembus ke arahku dari depan, membuat
percikan api itu mengenai dadaku. Aku panik, aku berlari mengusap-usap dadaku.
“Panas,
panas, tolong...” teriakku.
Saat aku berusaha untuk memadamkan
percikan itu, aku mendengar lengkingan Ifrit yang tertawa. Suaranya berasal
dari asap hitam yang keluar dari api itu. Lho!? Asap hitam? Makhluk itu tidak
ada sebelumnya. Yang ada tadi hanyalah api dan kehangatan, tanpa asap.
Munculnya asap hitam itu menyerap hampir seluruh kehangatan dari api tersebut.
“Del
Fuego! Tidak! Jangan! Ku mohon kembali... Aku menggigil,” jeritku histeris.
Percikan itu tetap membakar dadaku
yang kini sudah melepuh. Begitu parah dan memerah.
“Maafkan
aku. Asap ini sudah lama menemaniku. Bahkan sebelum kedatanganmu,” kata Del
Fuego.
Sial, sial, sial!!!
Tanpa sadar aku menitikkan air mata.
Namun, tiba-tiba saja air mata itu berhenti dan tidak terjatuh dari pipiku.
Membeku. Ku gosok kedua lenganku, tanganku, dan ku tempelkan ke pipiku. Begitu
dingin. Tapi mengapa percikan di dadaku tidak padam di udara sedingin ini?
Dalam
lamunanku, aku melihat Del Fuego sedang berdansa bersama asap hitam itu. Namun
gerakannya tidak dapat ku ketahui, tidak dapat ku kenali. Tapi mereka terlihat
begitu bahagia. Ku tadahkan kepalaku ke langit. Dalam doaku, kubiarkan Hades
merasukiku. Kurasakan panas yang begitu membara melebur bersama darah ku dan
percikan di dadaku. Dalam panas, masih dapat kurasakan hangatnya Del Fuego.
Dalam tariannya, Del Fuego menatapku. Dia bingung. Dia berharap.
Jilatan
Del Fuego membuatku berteriak dan memaki. Panas Hades membuat air mataku
akhirnya jatuh, namun berwujud. Ku dapati trisula Neptunus tepat di tempat air
mataku terjatuh.
“Terjunlah.
Dengan Hades pada dirimu, panas Del Fuego akan kau miliki kembali. Saat itulah,
pisahkan ia dengan asap hitam. Gunakan trisulanya!” kata suara gaib yang muncul
ketika ku pegang trisula Neptunus dalam genggaman.
Tanpa
pikir panjang, aku melompat ke atas bara Del Fuego. Membiarkan diriku terbakar
bersama apinya. Namun ajaib! Bukan luka bakar yang membakar, melainkan hangat
Del Fuego tergetar. Menyatu dengan tubuhku. Dengan sigap, ku tusuk si asap
hitam dengan trisula Neptunus. Ku tebas bebas, hingga ia lepas tanpa bekas.
Aku
pun melompat keluar dari Del Fuego. Ku tatap Del Fuego dengan urat dahi yang
terlihat.
“Terima
kasih. Atas keberanianmu dan bukti kesetiaanmu. Kini aku berjanji, bahwa
kehangatan ini hanya akan ku berikan untukmu. Jadi ku mohon. Duduklah...
Jadilah pengelana yang ku kenal selama ini,” bujuk Del Fuego.
Aku
terdiam. Panasnya Hades masih kuat membungkam. Tapi, apa rasa panas ini yang
kuinginkan? Atau hangat Del Fuego yang kubutuhkan?
Jawabanku
menuntunku untuk menusukkan trisula Neptunus pada tubuhku sendiri. Tindakanku
akhirnya memaksa Hades keluar dari jiwaku, dan padam. Begitu pula dengan
percikan di dadaku. Padam, namun meninggalkan luka bakar yang abadi. Aku pun
duduk dan kembali menikmati hangatnya Del Fuego, hingga kini.